Kado Pahit untuk Maskapai

Oleh Khairina

Boleh jadi, inilah kado “pahit” bagi maskapai penerbangan dan perusahaan. Harga minyak bumi naik hingga lebih dari 80 dollar Amerika Serikat per barrel justru terjadi saat pengguna jasa mereka tengah sepi atau off season. Agar bisa bertahan, mereka melakukan berbagai cara untuk menambah jumlah pelanggan.

Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Tengku Burhanuddin mengatakan, bahan bakar adalah komponen terbesar dari biaya operasional langsung (direct operating cost/DOC) pesawat. Saat harga avtur masih berkisar Rp 6.500 per liter, biaya avtur mencapai sekitar 47 persen dari DOC. Dengan kenaikan harga minyak, biaya bahan bakar bisa mencapai 60 persen dari DOC.

“DOC tidak bisa dikurangi lagi komponen biayanya, apalagi sekarang pemerintah ketat mengontrol kelayakan pesawat terbang,” ujar Burhanuddin.

Kenaikan harga ini mau tak mau membuat maskapai penerbangan bersiap menaikkan biaya tambahan untuk bahan bakar atau fuel surcharge. “Kemungkinan besar, fuel surcharge naik. Kami masih mengamati fluktuasi harga minyak dunia,” ujar Manajer Humas Lion Air Hasyim Arsal Alhabsy.

Kenaikan biaya ini dikhawatirkan memengaruhi jumlah penumpang. Untuk mengantisipasinya, Hasyim mengaku menjalankan pola-pola pemasaran yang lebih up to date. Lion Air juga meningkatkan pelayanan kepada penumpang.

Upaya keras juga dilakukan Account Manager DHL Global Forwarding Robertus Andhi. Kenaikan harga minyak menyebabkan fuel surcharge (bagi pengiriman lewat udara) dan bunker adjustment factor atau BAF (jika barang dikirim lewat laut) naik.

Persaingan sesama forwarder pun semakin ketat. Banyak forwarder yang berani menurunkan freight cost di bawah standar agar tarif yang dibebankan kepada konsumen tidak terlalu mahal.

DHL sendiri menerapkan tarif yang fleksibel bagi pelanggannya. “Untuk konsumen lama, harga yang kami tawarkan negotiable (harga tawar-menawar/bisa dinegosiasikan). Apalagi, mereka biasanya sudah terikat kontrak jangka panjang dengan kami,” ujar Andhi, yang sebagian besar konsumennya adalah eksportir.

Kendati berusaha menerapkan tarif yang bisa dinegosiasikan, Andhi mengaku, tarif itu tidak berlaku jika barang yang dikirimkan beratnya di bawah 200 kilogram. “Soalnya sedikit atau banyak barang yang dikirim, kami kan tetap menyewa pesawat yang ukurannya sama. Kecuali, kalau barang-barang itu bisa dikirimkan bersamaan dengan kargo yang lain,” katanya.

Berdasarkan data dari INACA, volume barang yang diangkut lewat kargo udara untuk rute domestik mencapai 268.495 ton pada 2006 atau menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2005, volume barang yang diangkut mencapai 275.480 ton.

Untuk rute internasional, volume barang yang diangkut pada 2006 mencapai 76.730 ton, sementara pada 2005 hanya 55.307 ton.

Sementara, load factor penumpang pesawat terbang setiap tahun meningkat. Pada 2006, load factor pesawat mencapai 78,36 persen, lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 77,17 persen.

Berdasarkan harga jual tiket, pasar menengah ke bawah tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kelas menengah ke atas. “Itu sebabnya, kenaikan fuel surcharge sedikit saja akan memberatkan konsumen. Beda dengan di luar negeri yang masyarakatnya sudah terbiasa,” kata Burhanuddin.

Kenaikan harga minyak dunia, katanya, memang tak bisa dihindari. Namun, pemerintah dapat mengurangi beban masyarakat dengan mengurangi nilai pajak. “Biasanya, kan, pajak dibebankan 10 persen. Kalau pemerintah bisa mengurangi jadi lima persen saja, itu kan sudah menolong,” katanya.

Tinggalkan komentar